Kolonialisme paling Santun adalah perkawinan
Tulisan ini diurai ketika saya mendengar ada sajian bedah Novel Berjudul ” Jangan Paksa Aku Bercinta “. Yang ditulis oleh aktivis perempuan. Tepatnya anak PMII. Mendengar nama organisasinya tentulah anak pergerakan. Penulis potensial dari novel itu bernama Nur Angsih. Konon ia berasal dari pulau bacan bagian barat. Saya belum membaca isi novel itu, disebabkan saya tidak hadir pada diskusi tersebut. Saya mencoba menemukan buku utuhnya di Mbah gogle,tapi hanya menemukan sinopsisnya, di sebabkan saya tertarik dengan judulnya.
Verbatim dari kalimat “Jangan paksa aku bercinta ” secara Hermeneutik mengandung unsur pembebasan. Bahwa cinta adalah emosi batin yang mewujud jika bersentuhan dengan realitas. Bercinta adalah hak dasar setiap manusia, boleh dipakai boleh tidak. Tentunya tulisan ini berbeda dengan isi novelnya, karena pendekatan referensi yang berbeda. Tapi saya kira spiritnya sama, “membebaskan perempuan “. Karena sebagai sebuah paradigma, Feminis harus dilihat dari semua sudut pandang. Tidak hanya dari sisi gerakan perempuan. Karena feminis adalah gerakan yang menuntut keadilan bagi perempuan, maka Saya mencoba meneropongnya dari sisi Feminis Laki laki.
RAHIM & TAMBANG REPRODUKSI
Kenapa hawa tidak dicitakan bersamaan dengan Adam dari tanah,? Apakah Hawa tidak layak di sebut manusia karena terlahir dari rusuk Adam,? Kenapa Hawa melahirkan terasa sakit,,? Ini pertanyaan setua peradaban manusia. Akar supremasi laki laki atas perempuan, boleh jadi dimulai dari Premis bahwa hawa tercipta dari tulang rusuk kiri Adam bagian belakang
Paradoks memang, hawa diciptakan ketika Adam pulas. Sementara Allah titipkan rasa sakit ketika hawa melahirkan. Hawa dikonstruksi seperti benalu yang numpang lahir dari tubuh Adam. Andai kita boleh berimajiner, bagaimana jadinya jika Allah ciptakan hawa dari api atau angin. Apakah kedigdayaan laki laki atas perempuan akan terus berlanjut,,?
Narasi ketidakadilan terhadap perempuan menjadi mainstream bagi semua agama monoteisme. Meskipun Islam memuliakan status perempuan, tetap saja perempuan menjadi subordinat dari laki laki. Hal ini memantik kesadaran kaum feminis, tak terkecuali Aminah Wadud. Lewat ujung pena, ia menggelorakan metode Hermeneutik dalam tafsir alquran untuk lebih berpihak kepada perempuan termasuk hikayat penciptaan hawa. Ia menentang metode tafsir fiqih klasik yang terus menerus mempromosikan keperkasaan laki laki. Hal yang sama juga diperjuangkan oleh Asghar Ali engineer dalam teologi pembebasannya, ia menyerukan agama harus membebaskan. Khususnya membebaskan perempuan dari opresi patriarki.
Status rendah perempuan tidak hanya berlangsung diruang privat. Diruang publik, Posisi perempuan dianggap sebagai entitas sekunder. Ketidakadilan itu terjadi baik dari sisi ekonomi, politik, sains dan kebudayaan.
Adalah Cristine De Pizan, perempuan kelahiran 1364 di Venezia Italy. Dianggap sebagai Feminis pertama di dunia seperti ditutur Simone De Beauvoir. Dalam sastra De Pizan yang menggelegar, “The Book of the city of ladies”. De Pizan yang hidup di abad klasik, menyaksikan secara langsung, ketika perempuan dilarang sekolah, dilarang terlibat urusan politik, sehingga menyerukan perempuan untuk keluar rumah menjadi politisi, pegawai pemerintah, bahkan pengusaha.
Marjinalisasi terhadap perempuan berlangsung tidak sebentar, bahkan seumur peradaban manusia. Konstruksi kebudayaan sejak jaman kuno selalu mereduksi kesadaran perempuan. Perempuan dan laki laki dianggap sebagai oposisi biner yang hitam putih, sehingga membuat jarak yang sangat kontras. Perempuan selalu terbelenggu karena rahim yang tertanam dalam tubuhnya, menjadikannya gagal dalam merekayasa dirinya setara secara ekologis dengan laki laki, karena dihalangi oleh faktor biologis berupa mengandung, melahirkan, menyusui, dan merawat anak.
Aristoteles dalam ” Republik” melegacykan bahwa perempuan adalah sosok setengah manusia. Atau bayi yang bertubuh besar. Sedewasa apapun dia tetaplah anak anak yang mudah di kendalikan. Seorang anak perempuan yang belum menikah, berada pada pengawasan bapaknya. Setelah menikah, pengawasan itu disubstitusikan kepada suami. Dirumah tanggalah praktek Misoginis itu dimulai. Dalam rahim dan tubuh peremuan, imprealisme laki laki di operasional kan.
Perkawinan dengan kata lain adalah kapitalisme paling kejam. Karena lewat perkawinan, simbol laki laki diutuhkan. Tubuh perempuan dan basis kodratnya dikapitalisasi sebagai benda. Dibalik perkawinan terdapat properti yang ingin di lestarikan. Bayi yang baru lahir dinama belakangnya tertera nama bapaknya diakta kelahiran. Pembagian waris dalam Islam, laki laki dan perempuan adalah dua banding satu. Laki laki diperbolehkan poligami sedangkan perempuan haram hukumnya. Laki laki selingkuh dianggap wajar, sementara perempuan adalah tabu dan aib. Seorang raja bahkan memeiliki selir sampai ratusan. Perempuan ibarat properti yang didomestifikasi.
Bahkan didalam feminis radikal, perkawinan dianggap sebagai institusi laki laki untuk memperluas kolonisasi. Mereka menyerukan perempuan untuk kawin sesama jenis. Menjadi lesbian bahkan jomblo. Karena kawin beda jenis sama dengan memindahkan kedaulatan perempuan, pergi kepada otoritas laki laki.
Dalam pandangan Julia Kristeva, feminis radikal sesungguhnya ingin menghapus Supremasi laki laki. Feminis radikal mengalami kemacetan berfikir karena menggeneralisir seluruh perempuan di dunia. Padahal perempuan disatu wilayah dengan wilayah lainnya berbeda secara kebudayaan. Sehingga cara pandang dalam merespon keadilan gender juga berbeda. Kriteva memposisikan perempuan dalam Dua fungsi yaitu tubuh yang melahirkan dan tubuh maternal yang mengasuh anak.
Dengan meminjam Psikoanalisis Jacques Lacan, Kristeva kemudian menganalisis tubuh ibu. Bahwa sesungguhnya bayi bergerak dalam fase Semiotik ke fase Simbolik. Ketika dalam kandungan sampai usia enam bulan adalah tahap Cora. Tahap dimana bayi berkomunikasi dengan ibunya mulai dari Kandungan. menangis, hingga dikasih ASI, iniliah tahap semiotik karena bayi berkomunikasi dengan tanda dan berada pada pengawasan maternal ibunya. Ketika berusia 6 sampai satu tahun bayi berada pada tahap Abjeksi, karena mulai melepaskan diri dari ibunya dan pindah ke fase Simbolik paternal bapaknya.
Sigmund Freud dalam Anatomi tubuh, menafsirkan bahwa fase Abjeksi adalah fase kotor. Ditandai dengan munculnya payudara dan menstruasi. Perempuan harus mampu memproteksi tubuhnya dari predator laki laki. Sehingga menganjurkan perempuan menutup auratnya, untuk menghindari stigma dari laki laki sebagai simbol seksualitas.
Kristeva setelah menganalisis proses bayi dari tahap semiotik ke Simbolik, yang menyatu dengan tubuh ibunya di fase Cora, kemudian menghendaki perempuan menjadi dirinya sendiri ketika berpindah ke tubuh sosial. Dalam pemikiran eksistensialismenya, Ktisteva memahami Bahwa perempuan butuh teman, dan bersosialisasi dengan masyarakat. Akan tetapi perempuan harus mampu mendikte jalan hidupnya sendiri untuk tidak berada di bawah supremasi laki laki bahkan memungkinkan untuk membongkar budaya patriarki.
EPISTEME PATRIARKI DALAM
SAINS DAN KEBUDAYAAN
Feminis bukanlah kebencian perempuan terhadap laki laki, bukan pula soal jenis kelamin. Tapi lebih pada kadilan gender dan sosial. Lebih tepatnya peran manusia di alam. Peran laki laki bisa dipertukarkan dengan perempuan. Begitu juga sebaliknya, karena status manusia adalah sama, yang membedakan hanya jenis kelamin.
Humanisme yang di galakkan di eropa lewat Revolusi prancis, seharusnya menjadikan manusia setara secara sosiologis. Liberte, egalite, dan fraternite adalah milestone untuk membebaskan manusia dari opresi agama serta kebudayaan yang rigid dan demagog. Agama dan kebudayaan tertuduh sebagai institusi yang tidak mampu mendiskulpasi manusia dan seluruh ekosistem biosfer dari ketertindasan.
Dibidang ilmu pengetahuan, sains direkayasa sedemikian rupa untuk berpihak ke laki laki. Foucolut melihat ada keterkaitan secara resiprokal, antara arkeologi pengetahuan dan Geneologi kekuasaan. Sehingga relasi gender adalah relasi kekuasaan. Secara filosofis pengetahuan direproduksi untuk melayani kepentingan kuasa. Kekuasaan tidak hanya beroperasi di institusi negara, tapi merambah sampai ke institusi agama, pendidikan bahkan rumah tangga. Disinilah patriarki mendapatkan tempatnya karena dilindungi oleh budaya pengetahuan dan kuasa.
Sains gagal dalam mempertegas etika epistemologinya yang bebas nilai dan netral. Lewat sains yang berpihak, kekuasaan laki laki di Cary over ke dalam reasoning perempuan. Sehingga kuasa atas perempuan seolah hal yang determinan. Sebagaimana John Locke memandang sesuatu yang bersifat ide bukanlah realitas, manusia dilahirkan ibarat kertas putih ( Tabula Rasa ). Pengalaman dan panca inderalah yang melahirkan ide. Laki laki dan perempuan di lahirkan sama seperti kertas putih kemudian menimba pengalaman dari realitas.
Bahkan ilmu sosial Positifistik pun gagal menempatkan perempuan dalam kajian sosiologi kontemporer. Comte dengan ilmu sosial positiv lewat dialektika masyarakat dari Teologis, ke metafisis dan puncaknya di positif, gagal memposisikan perempuan dalam epistemologi positivistiknya. Weber dengan tindakan sosial, Durkheim dengan Aksi sosial dan Marx dengan kelas sosial, namun tidak mampu membuat perempuan berdaya secara sosial.
Perempuan harus ditafsirkan sebagai Being, Berada, dan Bereksistensi. Perempuan adalah realitas yang aktif bukan pasif. Jika Locke, Comte,dan Durkheim menganggap bahwa kriteria Sains adalah menguji realitas yang visibilis, yang nampak dan bisa ditangkap oleh panca indera, maka tubuh perempuan harus di lihat sebagai objek kajian Sains yang bisa diinstitusikan. Perempuan harus ditempat secara khusus sebagai Epistemologi Feminis dalam kajian sosiologi modern.
Disinilah peran filsafat dibutuhkan untuk menegur pikiran Sains dan kebudayaan. Sebagai sebuah paradigma, feminisme harus mendapat tempatnya dalam epistemologi Sains. Filsafat harus mendekonstruksi ulang cara berfikir sains dan kebudayaan untuk mengkaji ontologis perempuan lalu menyerahkan epistemologinya kepada sains dan dievaluasi aksiologinya.
Filsafat harus mengukuhkan dirinya sebagai pembeda terhadap sains dan kebudayaan. karena watak Sains yang bebas nilai dan kebudayaan yang cenderung konservatif dalam mempertahankan tradisi, harus dibongkar oleh Filsafat
Konklusinya, kurikulum dipendidikan tinggi, harus lebih memfokuskan perhatian terhadap Sosiologi Feminis. Bahkan sampai ke pendidikan dasar yang mengupas tuntas studi tentang perempuan. Hakikat tentang kesetaraan manusia harus diedarkan secara kolosal kepada anak didik seradikal mungkin.
Akhirnya Martin Heideger, Filsuf Eksistensialis terbesar dimasanya, menolak pandangan Rasionalisme Descartes. Cogito Ergo Sum yang didewakan sebagai pintu menuju modernitas, melegalkan eksploitasi alam secara masif. Alam ditambang, dirusak, dan diperkosa layaknya perempuan. Menyebabkan alam kehilangan keperawanannya. Heideger memandang bahwa manusia, Alam semesta, tumbuh tumbuhan dan mahluk yang lain, adalah satu kesatuan, yang tidak boleh saling memusnahkan.
Dalam perspektif Ecofeminis, perempuan adalah bagian dari alam. Tumbuh bersama alam, jika alam perlu dirawat dan dipelihara demi kelangsungan hidup manusia,. Maka perempuan juga sama halnya. Perempuan harus disejajarkan dengan invromentalisme etics. jika alam dapat menjadi sumber makanan bagi manusia, maka rahim perempuan adalah sumber kehidupannya. Wassalam.
Discussion about this post