Oleh : Bambang Rano
Penggiat Literasi Loga-loga
Kegilaan politik identitas dalam kontestasi perebutan kekuasaan di Maluku Utara sangatlah rentan, apalgi dengan diperhadpkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) maupun Pemilihan Gubernur (Pilgub). Hal ini disebabkan karena kondisi sosial kita yang bertaut pada politik identitas. Misalnya, masing-masing figur yang calon bupati maupun calon gubernur telah menggunakan identitas sebagai slogan konsuldasi politik.
Sehingga, konsuldasi politik identitas akhir-akhir ini mencuat di media sosial yang terkesannya ada pendefenisian dalam politik yang menandai suku dan etnis dari pelbagian ‘’ kita dan mereka’’. Namun pendefenisian ‘’kita dan mereka’’ akan saling meniadakan antara satu dengan lain melalui bahasa, sejarah, budaya dan batas wilayah teritorial. Tetapi fenomena politik identitas semacam ini, harus ditiliti lebih ke dalam bahwa apa yang mendasarinya.
Pertama, politik identitas adalah ruang kontestasi ‘’sentimen primordial’’ dalam perebutan arena kekuasaan. Dan dapat dikatakan bahwa arena perebutan kekuasaan telah menampilkan identitas politik dalam mobilisasi kelompok mayoritas untuk mengusai minoritas. Misalnya, elit memanfatkan propaganda politik identitas yang seakan-akan mewakili kepentingan kelompok mayoritas sebagai legitimasi politik. Dengan sendirinya, kelompok yang minoritas akan terabaikan dan tersingkir dari hak politik mereka.
Kedua, hubungan mereka dalam kesetaraan politik akan melahirkan ketidakadilan. Karena mereka yang minoritas akan tergurus dengan polarisasi politik identitas. Dan polarisasi politik identitas biasanya menimbulkan efek pembelaan konflik dilintas masyarakat. Sehingga masyarakat yang menjadi korban atas nama politik identitas dan sentimen primordial, yang akan memunculkan narasi orang pendatang, orang pribumi, mayoritas dan minoritas, merupakan kosa kata yang kita jumpai pada proses Pilkada maupun Pilgub di negeri ini.
Politik identitas dan sentimen primordial akan selalu aktual dalam pergulatan politik kekuasaan. Pergulatan politik kekuasaan ini yang membentuk proses mata-rantai wajah politik identitas kita. Hingga proses pembentukan wajah politik identitas ini yang sangat menggairakan para elit dan tim sukses. Dengan kata lain, hasrat politik identitas akan mencerminkan perilaku elit dan tim sukses yang krisis moral. Krisis moral inilah yang melahirkan praktek kekerasan politik, seperti menyebarkan kebencian dan kebohongan yang diproduksi di media sosial. Dan efek dari kebencian dan kobohongan akan menimbulkan tindakan destruktif untuk mengkanter kepentingan politik identitas tersebut, maka perlu ada kesadaran kolektif yang saling mengakui dan menghargai persamaan hak politik. Sehingga kita tidak terbelengguh dengan polarisasi politik identitas. Dengan demikian, kita harus menghidupkan percakapan politik tentang warga negara yang saling menjujung tinggi nilai kemanusiaan.
Oleh sebab itu, berbeda dalam kepentingan politik dilintas etnis dan suku harus di jadikan sebagai titik temu dialog untuk menghubungkan percakapan politik di ruang publik yang menghasilkan keadilan sosial. Untuk itu, percakapan politik harus berdiri pada etika politik kesetaraan, keadilan dan kebebasan yang merupakan prinsip utama demokrasi.
Atas dasar prinsip demokrasi itu yang orintasinya pada semua aspirasi politik absah dalam demokrasi. Dan orintasi politik di arahkan pada ‘’ kesadaran kehendak politik kolektif’’ untuk keluar dari dikotomi antara ‘’kita dan mereka’’ yang terkotak-kotak pada persaingan identitas. Tentunya, persaingan identitas disebabkan elit dan tim sukses memperalat sentimental primordial demi mencapai hasrat kekuasaan.
Maka sangat ironis, jika politik identitas meruntuhkan persatuan dan kesatuan, namun hal yang harus diutamakan adalah nilai-nilai persatuan dan kesatuan kita. Nilai-nilai persatuan dan kesatuan harus dirawat melalui konsensus sosial, atau dalam kosa kata Jurgen Habermas disebut ‘’konsensus rasionalitas’’. Konsensus sosial akan saling menjembatani dari berbagai kepentingan kolektif.
Supaya ada keterbukaan pemikiran antara satu dengan yang lain untuk saling memahami persamaan hak politik warga negara. Karena demokrasi kita, menyelegarakan kemajemukan yang menghidupkan perbedaan politik, tapi bersaudara dalam kehidupan. Pada konteks kemajemukan ini, tentunya kita harus terbuka kesempatan bagi siapa saja untuk berpendapat di depan umum. Baik secara lisan maupun tertulis, agar kita lebih dewasa memaknai ‘’kemajemukan politik’’ yang berkembang di negeri ini.
Disini, kita harus memaknai ide ‘’kemajemukan politik’’ bukan hanya semata-mata perbedaan politik, tapi bagaimana kita kelola kemajemukan sebagai percakapan etis. Di dalam kemajemukan, kita membutukan suasana percakapan publik yang lebih mengutamakan kepentingan bersama dan mendistribusikan kebutuhan mendasar, seperti keadilan ekonomi, kesehatan dan pendidikan.
Itulah cita-cita etis dari demokrasi yang seharusnya kita perjungkan, agar warga negara memaknai hak politiknya bahwa ‘’kedaulatan rakyat’’ tidak seperti dominasi identitas mayoritas. Akan tetapi ‘’kedaulatan rakyat’’ difungsikan pada pendidikan kewarganegaraan yang terbisa hidup dengan kemajemukan politik.
Discussion about this post